Sabtu, 14 Maret 2015

Ahmad bin Fadlan dan Orang-Orang Viking




Tahun 921 M, Ahmad bin Fadlan atau juga disebut Ibnu Fadlan diutus oleh Khalifah al-Muqtadir, penguasa Dinasti Abbasiyah di Baghdad, untuk pergi ke kerajaan Bulghar (cikal bakal dari Bulgaria) di hulu sungai Volga di Kazan, wilayah Tatarstan saat ini. 


Kita semua tahu bahwa di atas sungai ini berdiri sebuah kota yang dinamai Volgograd, atau kota Volga. Sungai ini sangat bersejarah karena menjadi bukti bisu pertempuran brutal dan vital dalam perang dunia II. Ya, kota di sungai ini dahulu disebut Stalingrad, atau kota Stalin yang sangat dipertahankan mati-matian oleh tentara merah atas instruksi Presiden Rusia saat itu, Joseph Stalin yang bernama asli Iosef Vissarionovich Jugashvili.






Kembali ke petualangan Ibnu Fadlan, di padang rumput antara Laut Aral dan Laut Kaspia atau wilayah Inner Asia, Ibnu Fadlan berjumpa dengan peradaban kulit putih pra-Kristen yang diantaranya diyakini sebagai orang-orang Viking dari Skandinavia yang mengembara jauh ke timur. 


Orang Arab ketika itu menyebut bangsa kulit putih berambut pirang ras Jermania dari wilayah utara sebagai orang-orang Russiyah atau Rus. Fakta ini menimbulkan kontroversi mengenai keterlibatan orang-orang Viking dalam pembentukan Rusia.

Kitab yang berisi catatan perjalanannya sekaligus laporan untuk Khalifah al-Muqtadir telah membantu para ahli sejarah memahami kondisi masyarakat proto-Rusia saat itu. Ahli sejarah Rusia dari Universitas Minessota, Thomas S Noonan, mengakui bahwa Ibnu Fadlan adalah sumber sejarah unik karena dia menyaksikan sendiri adat istiadat bangsa Rus dan menceritakan segalanya secara detail.


“Dia menceritakan bagaimana Karavan bepergian. Dia juga menulis flora dan fauna sepanjang perjalanan. Dia menunjukkan pada kita bagaimana perdagangan berlangsung. Tidak ada sumber seperti itu,” tulis Noonan.



Mata uang dirham (perak) dicari oleh orang-orang Viking sampai perlu mengembara jauh ke timur untuk berdagang dengan bangsa Arab. Bangsa Rus biasanya menjual berbagai macam kulit binatang, ternak, kulit pohon birch, biji pohon ek, lilin, baju besi, dan pedang. Di banyak situs-situs peninggalan Viking di Skandinavia, terutama Swedia, ditemukan ribuah koin dirham dinasti Abbsiyah yang dicetak di Baghdad, Kairo, Damaskus, Isfahan, dan Tashkent. Menurut Noonan koin dirham itulah yang telah menyokong era Viking, masa keemasan mereka dalam menguasai pantai-pantai Eropa Utara selama abad ke-8 sampai abad 11 M. Beberapa bahasa Arab juga diserap ke dalam bahasa Skandinavia seperti kaffe, arsenal, kattun, alkove, sofa, dan kalvatre (aspal pelapis kapal).




Ibnu Fadlan mencatat bahwa perempuan Rus memakai cakram dari emas atau perak di dadanya yang dikalungkan dengan tali di leher sebagai penanda kekayaan. Bila suaminya punya 10 ribu dirham, sang istri akan memakai satu cakram. Jika kekayaan suaminya mencapai 20 ribu dirham, istri memakai 2 cakram, dan seterusnya berlaku kelipatan.


Laki-laki Rus biasanya memiliki budak perempuan yang selalu menemani dan melayani ke mana pun dia pergi. Ia mendeskripsikan Rus sebagai bangsa yang memiliki fisik paling sempurna. Ibnu Fadlan menulis, “Saya tidak pernah melihat fisik yang lebih sempurna daripada mereka, mereka tinggi seperti pohon palm, warna kulit cerah dan kemerahan. Mereka memakai jubah yang menutupi separuh badan dan satu tangan tidak tertutupi kain. Setiap laki-laki membawa kapak, pedang dan belati. Pedang mereka bergaya Franka yang bilahnya besar dan bergerigi.”


Namun dibalik itu Ibnu Fadlan juga menyebut bangsa Rus sebagai bangsa yang jorok. “Mereka adalah yang terjorok di antara semua makhluk. Mereka tidak bersuci setelah buang air kecil dan tidak cuci tangan setelah makan.” 


Ibnu Fadlan juga menulis “Mereka sangat vulgar dan terbelakang (untuk urusan kebersihan).” Ia mencontohkan, mereka menggunakan baskom untuk mencuci tangan, padahal mereka juga memakai baskom tersebut untuk berkumur, meludah, membersihkan hidung bahkan membuang ingus. Kemudian mereka bergantian dengan teman mereka untuk memakai baskom tanpa mengganti airnya dan menambah kotor baskom tersebut.

Ibnu Fadlan juga menceritakan mengenai budak perempuan dan keterikatannya dengan tuannya. Ia menjelaskan secara rinci bagaimana pemakaman salah satu kepala suku mereka yang melibatkan pengorbanan manusia dan kremasi. Budak perempuannya akan mengajukan diri untuk menemani tuannya ke Valhalla (Surga). 

Ibnu Fadlan mengakhiri percakapannya dengan pria Rus setelah mereka mengejek, “Orang Arab benar-benar bodoh. Kalian mengubur orang yang kalian cintai dan hormati agar dimakan rayap dan cacing di dalam tanah. Sedangkan kami membakar mereka yang mati dengan api sehingga bisa cepat masuk ke Surga.”




Keakuratan catatan Ibnu Fadlan dimanfaatkan oleh Michael Crichton untuk menyusun novel Eaters of the Dead tahun 1976 M. Novel ini kemudian dijadikan film oleh Hollywood dengan judul “13th Warrior” yang menceritakan kisah Ibnu Fadlan bepergian ke wilayah Nordik bersama 12 pendekar Viking untuk menumpas kaum kanibal. Tentu saja novel tersebut fiksi belaka karena Ibnu Fadlan tidak pernah pergi ke Skandinavia.






Hak Cipta @ Republika, 18 Januari 2012 


sumber: http://donhasan.blogspot.com/2014/03/ibn-fadhlan-dan-bangsa-viking.html
.


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon