Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (Operasi Clurit) adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "Petrus", Penembak Misterius..
Awal Mula
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, dan pada Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.
Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya
Antara HAM dan Penumpasan Kejahatan
Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, dan pada Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.
Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya
Antara HAM dan Penumpasan Kejahatan
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak.
Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.
Pembuangan Korban di Pinggir Jalan
Pembuangan Korban di Kebun
Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Kondisi mayat banyak dengan luka tembak di kepala, leher dan dada. Selain itu mayat-mayat tersebut juga dihiasi tato di tubuhnya dan ciri khas lainnya, mayat yang diketemukan di Jakarta kebanyakan mengambang dalam karung yang hanyut di sungai dan dalam kondisi mayat terikat.
Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup
Ditinjau dari korban OPK yang merata di kota-kota besar tanah air, ini menunjukkan fakta bahwasanya OPK memang sengaja dilancarkan dengan skala nasional dan ternyata cukup berhasil menumpas angka kejahatan secara telak.
Dari ciri khas cara penculikan dan penjemputan korban oleh aparat, cara eksekusi, perlakuan terhadap mayat hingga proses pembuangan memang OPK dilancarkan untuk memberi shock therapy yang sangat efektif. Akibatnya pemberitaan media sangat gencar mengenai operasi Petrus yang sukses membereskan ratusan penjahat dan operasi itu tetaplah sebuah misteri tersendiri.
Benny Moerdani dengan Soeharto
Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib memberikan pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin akibat dari perkelahian antar geng bandit. Wartawanpun tidak ada yang berani melanjutkan pertanyaan kepada jenderal yang terkenal tegas dan galak.
Banyak juga pendapat yang kontra, mereka keberatan bila sasaran OPK hanya penjahat kelas teri atau yang hanya memiliki tato tetapi bukan penjahat kakap.
Pembunuhan selama era OPK sendiri telah menelan korban jiwa sebanyak 3.000 orang. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek dalam kunjungannya ke Jakarta medio awal Januari 1984.
Ada dua butir peluru segera bersarang di tubuhnya. Satu di dada dan satu di kepala. Tubuhnya lalu tumbang dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Esok hari, bisik-bisik beredar di masyarakat. Dia adalah Robert preman yang selama ini ditakuti !
Kala itu, para pria bertato disergap ketakutan karena muncul desas-desus, petrus mengincar lelaki bertato. Peristiwa penculikan dan penembakan terhadap mereka yang diduga sebagai gali, preman, atau residivis itu, belakangan, diakui Presiden Soeharto, "Ini sebagai shock therapy,"
Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, preman, bromocorah, para gali, dan kaum kecu yang dalam sejarah memang selalu dipinggirkan, walau secara taktis juga sering dimanfaatkan. Pada saat penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara.
Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius.
Namun, apakah karena shock therapy yang dipelajarinya entah dari mana itu kejahatan memang mereda? Tanyakanlah kepada sindikat Kapak Merah…
Sumber:
- http://www.kaskus.co.id/thread/54e98fb5108b46561c8b4569/?ref=homelanding&med=hot_thread
- Wikipedia & Rangkuman Forum Militer
.
EmoticonEmoticon