Tampilkan postingan dengan label Infantri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Infantri. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Maret 2015

Paratrooper



Pasukan Penerjun payung (paratrooper) adalah tentara yang dilatih secara khusus dalam pengoperasian parasut serta memiliki kemampuan terjun payung.

Para prajurit terjun payung dapat menembus medan perang di belakang garis musuh karena bisa diterjunkan langsung dari pesawat.

Dalam sejarah peperangan yang melibatkan kekuatan udara, telah banyak tercatat misi-misi gemilang yang berhasil dilakukan oleh penerjun payung.

Konsep menggunakan parasut untuk mendaratkan tentara di daerah tertentu berkembang pesat saat Perang Dunia II. Penerjun payung bersifat sangat fleksibel dan umumnya didaratkan dalam kelompok kecil untuk kemudian secara cepat menjalankan misi yang diperintahkan.




Pasukan terjun payung yang diterjunkan di belakang garis pertahanan musuh berpotensi mengeksploitasi kelemahan musuh sekaligus melakukan misi awal sebelum kekuatan yang lebih besar melakukan serangan langsung.

Pasukan terjun payung juga bisa digunakan untuk memata-matai wilayah musuh atau menyediakan cadangan pasukan yang diperlukan di daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui darat.

Pasukan Parasut di Perang Dunia II juga mengembangkan parasut dan teknik rigging untuk menjatuhkan peralatan yang dibutuhkan ke medan perang.

Saat ini, dengan teknik rigging yang makin canggih, menjadi dimungkinkan untuk menjatuhkan kendaraan dan senjata berat ke tanah bersama dengan persediaan untuk pengungsi dan objek lainnya. Rigging untuk benda berat membutuhkan keahlian khusus untuk memastikan objek tidak rusak selama penerjunan serta memastikan bahwa mereka jatuh di tempat yang tepat.

Untuk memenuhi syarat sebagai pasukan penerjun payung, seorang prajurit mengalami pelatihan reguler dan kemudian menerima pelatihan terjun payung khusus.

Pelatihan memuat berbagai hal seperti teknik skydiving yang tepat, menggunakan parasut khusus yang digunakan dalam paratrooping, dan tentang teknik untuk tetap berada dalam formasi ketika terjun dalam kelompok besar.

Biasanya, pasukan terjun payung merupakan bagian dari cabang udara militer, seperti Angkatan Udara.





sumber: http://www.amazine.co/27997/apa-itu-paratrooper-informasi-tentang-pasukan-terjun-payung/
.

Senin, 12 Januari 2015

Tentara-Tentara Yahudi Nazi Jerman



Dunia pun tahu jika Hitler dan Nazinya begitu membenci bangsa Yahudi. Semua orang Yahudi harus disingkirkan dari semua aspek kehidupan di Jerman. Bagi Hitler, bangsa Yahudi adalah bangsa pengkhianat, tidak nasionalis dan yang terpenting berada di belakang kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I yang menyisakan sakit hati mendalam di dada bangsa Jerman.



Kontras dengan asumsi konvensional bahwa kebanyakan Yahudi Jerman hanya berminat pada dunia bisnis, ternyata kemudian diketahui bahwa begitu banyak keturunan Yahudi yang menjadi anggota militer Jerman. Kurang lebih 150.000 orang keturunan Yahudi yang mengabdi pada Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) di mana sebagian di antaranya merupakan veteran Perang Dunia I pemegang banyak medali yang sudah kadung dianggap pahlawan oleh rakyat Jerman dan sebagian lagi memegang posisi tinggi di hierarki kemiliteran, dengan pangkat Jenderal atau Laksamana. Memegang posisi kunci kemiliteran dan mendapat anugerah Ritterkreuz yang sangat didambakan para tentara Jerman yang berjibaku dalam pertempuran.





Vizeadmiral Bernhard Rogge (1899-1982), yang di darahnya terdapat 1/4 keturunan Yahudi adalah penerima banyak Deutschblütigkeitserklärung (medali militer) dari Hitler. Di antaranya adalah Eichenlaub dan sebilah samurai kehormatan dari pemerintah Jepang.






Buku tugas militer Hermann Aub, seorang keturunan setengah Yahudi






Dua orang Generalfeldmarschall dari Luftwaffe, Erhard Milch (1892-1972) dan Wolfram von Richthofen (1895-1945). Perlu Hitler yang mengatakan bahwa Milch adalah ras Arya murni setelah adanya kontroversi bahwa dalam tubuhnya mengalir darah Yahudi. Milch sendiri adalah penerima medali Ritterkreuz atas jasa-jasanya dalam pendudukan di Norwegia tahun 1940 .





Tentara-tentara berdarah Yahudi itu pun tak lagi melihat dirinya sebagai orang atau keturunan Yahudi, melainkan telah menganggap ketentaraan sebagai suatu jalan hidup yang mereka pilih dalam usaha pengabdian mereka kepada Jerman. Di lain pihak, mereka pun diterima dengan tangan terbuka oleh Wehrmacht yang tidak separanoid Hitler dalam menyikapi masalah ras Yahudi.








Keturunan 'setengah Yahudi' Anton Mayer yang memang berwajah Yahudi asli tapi tetap lulus 'sensor' masuk Wehrmacht!






Adolf Hitler bersama Generaloberst Gotthard Heinrici (1886-1971) tahun 1937, yang menikah dengan keturunan 'setengah Yahudi .





Tapi bukan Hitler namanya kalau menjilat ludahnya sendiri berkenaan dengan sumpahnya untuk membersihkan bangsa Yahudi di Jerman. Hitler tetap menjalankan program pembersihannya tersebut. Caranya memng halus dan penuh dengan intrik. Diam-diam, sedikit demi sedikit para prajurit yang terbukti atau tertuduh sebagai Yahudi dikeluarkan dari dinas kemiliteran.






Keturunan 'setengah Yahudi' Werner Goldberg (lahir tahun 1919) yang bermata biru dan berambut pirang. Bahkan fotonya digunakan oleh koran propaganda Nazi dalam headline-nya. Judulnya : Tentara Jerman Ideal







Keturunan 'setengah Yahudi' Fregattenkapitän Paul Ascher (1899-1941), perwira artileri di kapal Bismarck dibawah pimpinan Admiral Günther Lütjens. Dia adalah penerima penghargaan Salib Baja (Eiserne Kreuz) kelas pertama dan kedua, juga Service Cross 2nd class






Keturunan 'setengah Yahudi' Oberst Walter H. Hollaender. OK, kita runut sejibun penghargaan yang nempel di seragamnya : Ritterkreuz, Deutsches Kreuz in Gold, Eiserne Kreuz 1 dan 2, Nahkampfspange (Close Combat Badge), General Assault Badge, dan Verwundetenabzeichen (Wound Badge)!




Dalam proses investigasi dan penyingkiran tersebut ternyata masih tebang pilih. Banyak pengecualian yang dibuat agar si tentara dapat mengabdi, meskipun sudah jelas-jelas terbukti merupakan keturunan Yahudi. Pengecualian juga berlaku untuk keluarga si tertuduh yang membuat mereka terhindar dari pendeportasian keluar Jerman atau ke kamp-kamp konsentrasi. Anehnya, tanda tangan Hitler langsung dapat ditemukan pada beberapa perintah pengecualian ini. Hal ini biasanya berlaku pada perwira tinggi atau perwira yang dianggap berjasa bagi Jerman dan tenaganya sangat dibutuhkan.







Keturunan 'setengah Yahudi' Generalleutnant Helmut Wilberg (1880-1941). Mantan pilot dalam Perang Dunia I. Hitler mendeklarasikan bahwa dirinya ras Arya murni tahun 1935. Penerima berbagai medali, di antaranya Hohenzollern's Knight,s Cross with Swords, Eiserne Kreuz kelas 1 dan 2







Keturunan 'setengah Yahudi' Jenderal Johannes Zukertort, yang pada akhirnya menerima sertifikat darah 'murni' Jerman bersama adiknya Karl Zukertort yang sama-sama jenderal






Keturunan 'setengah Yahudi' Horst Geitner. Menerima Eiserne Kreuz kelas kedua dan Silver Wound Badge selama tugasnya di Wehrmacht


Seiring dengan berjalannya waktu di mana partai Nazi semakin bertaring, pengecualian berangsur-angsur hilang. Meskipun kekurangan orang untuk dikirim ke medan tempur, Hitler tetap pada politiknya untuk menyingkirkan sebanyak mungkin orang Yahudi. Akibatnya, sebagian besar dari para tertuduh itu tak dapat menghindari takdir hidup mereka yang berakhir di kamp-kamp tawanan atau konsentrasi.







sumber: http://alifrafikkhan.blogspot.com/
.

Minggu, 11 Januari 2015

Sukarelawan Muslim yang Menjadi Tentara Nazi Jerman




Mereka tergabung dalam Divisi Gunung SS ke-13 'Handschar', yaitu Sukarelawan Muslim Terbesar Dalam Tubuh Waffen-SS.




Mufti Besar Yerusalem Sayid Amin Al-Husayni bertemu dengan Adolf Hitler di Berlin, 9 Desember 1941. Dalam pertemuan pertama tersebut Hitler begitu terkejut ketika mendapati "orang Arab" ini berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru seperti layaknya orang Nordik!




Unit artileri dari Divisi Gunung SS ke-13 'Handschar' sedang beraksi





Sampul majalah 'Wiener Muftrierte' terbitan tahun 1944 dengan judul "Der Grossmufti von Jerusalem bei den bosnischen Freiwilligen der Waffen-SS" yang artinya : Mufti Besar Yerusalem (Amin Al-Husayni) bersama dengan sukarelawan Waffen-SS asal Bosnia.




Seragam prajurit Handschar





Para prajurit Handschar sedang bahu-membahu menarik sesuatu di alam pegunungan wilayah Balkan yang menjadi daerah operasinya, Mei 1944







SS-Gruppenführer Artur Phleps, komandan Divisi Gunung Sukarelawan SS ke-8 'Prinz Eugen', sedang mencoba memakai tarbus khas Handschar, fez, dalam kunjungannya ke Zagreb di bulan Februari/Maret 1943





Dalam mencermati perjalanan sejarah, kita tentu harus menilainya dengan keadaan di masa itu sendiri. adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Muslim Bosnia, dan juga banyak Muslim lainnya di masa Perang Dunia II bersekutu dengan Nazi Jerman. Jumlah pasukan Muslim yang bergabung dengan Nazi cukup banyak: sekitar 5.000 orang Arab, 2.000 Muslim India, 40.000 Muslim Bosnia dan Sandzak, 30.000 Muslim Albania, 75.000 Muslim Kaukasus Utara, 40.000 Muslim Tartar Volga, 180.000 Muslim Turki, 20.000 Muslim Tatar Krim, dan juga 200.000 Muslim Soviet dimana yang terakhir ini bertugas sebagai tenaga pembantu dalam berbagai pekerjaan kasar dalam Wermacht atau angkatan perang Nazi Jerman (baca: Legiun Muslim Hitler; N. Hidayat; Nilia Pustaka, 2007)

Bahkan ada juga orang Indonesia yang menjadi bagian dari tentara Nazi Jerman (meskipun tidak diketahui apakah dia muslim atau bukan). Walau sejarah Indonesia tidak banyak membuka diri terhadap jasa Nazi Jerman atas perang kemerdekaan Indonesia, namun jasa pasukannya Adolf Hitler ini bagaimana pun ada. Ini fakta : Salah satu instruktur pertama badan intelijen resmi Indonesia adalah seorang perwira U-Boat Nazi Jerman yang mendarat di Jawa. Kolonel Zulkifli Lubis, bapak intelijen Indonesia, dilatih olehnya.

Bukan itu saja, di Indonesia pun pernah berdiri partai yang mengekor partai Nazi, walau tidak mendapat sambutan meriah kala itu (baca: Orang Nazi dan Partai Nazi di Indonesia: Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme; Wilson; Komunitas Bambu, 2008)

Dalam Jihad Afghan, para Mujahidin pun juga bersekutu dengan CIA bukan? Bahkan Ahmad Shah Masood pun ternyata pernah menjadi kaki-tangan dari CIA, seperti halnya Gulbuddin Hekmatyar, Rassul Sayyaf, dan lainnya. Dan seorang Usamah bin Laden pun pernah dipelihara CIA. Beberapa bulan sebelum kejadian 911, Usamah sakit dan dirawat di Pakistan. Kepala CIA Timur Jauh dan Kepala Intelijen Pakistan menjenguknya. Ini merupakan salah satu fakta jika peristiwa 911-WTC merupakan insider job.

Dalam Perang Dunia II, Mufti Palestina AlHusayni memang bersekutu dengan Nazi dan kawan baik dari Adolf Hitler. Mereka di kala itu saling memanfaatkan. Sejarah sekarang, dengan berbagai dokumennya yang telah dideclassified-kan, telah membongkar fakta jika segala 'kebuasan' Nazi Jerman dalam Perang Dunia II ternyata didukung penuh dengan dana amat besar dari Rockefeller dan kakek George Walker Bush, dua keluarga berpengaruh Yahudi Dunia. Al-Husayni tentu saat itu, sepertinya, tidak tahu akan fakta jika Hitler pun tengah diperalat Yahudi!

Dan tentang permusuhan Yahudi terhadap umat Islam, itu bersifat abadi hingga akhir zaman. Jadi, bukan karena Muslim Bosnia sekutu Nazi Jerman yang menyebabkan itu, tapi karena Yahudi adalah tentaranya Dajjal dan Muslim adalah tentaranya Muhammad SAW.

Dalam hubungannya dengan Nazi, puluhan ribu Muslim Bosnia direkrut Hitler dan dikelompokkan ke dalam Brigade Handjar atau yang resminya bernama 13. Waffen Gebirgs Division de SS ‘Handschar’ (kroatische Nr.1). Ini legiun Muslim Bosnia pertama yang direkrut di akhir tahun 1943.

Pada Juli 1944, dibentuk Legiun Muslim Bosnia kedua bernama 23. Waffen Gebirgs Division der SS ‘Kama’ (kroatische Nr.2) atau Brigade Kama. Kedua legiun atau brigade ini akhirnya digabungkan Himmler menjadi satu kesatuan yakni IX. Waffen-Gebirgs Korps der SS (kroatisches). Pasukan ini menderita kekalahan mengikuti kekalahan pasukan induknya, Nazi-Jerman, dan menyerah kepada pasukan Inggris di Saint Veit de Glan di Austria, 12 Mei 1945.

Siapakah Imam Al-Husayni? Dia adalah seorang Mufti Besar Palestina sejak 1921 hingga 1948. Keturunan Klan Husayni ini sangat keras menentang rencana perpindahan kaum Yahudi yang terserak di seluruh dunia ke Palestina, sebagaimana mandat dari Kongres Zionis Internasional I di Basel, Swiss, tahun 1897. Sebab itu, Inggris yang mendukung penuh rencana Zionis Yahudi itu memburunya. Pada tahun 1941 Husayni bertemu empat mata dengan Adolf Hitler. Hitler terkagum-kagum padanya.

Seperti yang sudah disinggung banyak literatur. Adolf Hitler dengan keyakinan rasialnya meyakini jika bangsa Aryan merupakan jenis manusia unggul yang berasal dari ras Romawi kuno yang perkasa, tinggi besar, berkulit putih, rambut jagung, dan mata yang biru bersinar. Melihat sosok Husayni yang tinggi besar, berkulit putih, berambut jagung, dengan mata yang biru bercahaya, Hitler terpesona dan menduga kuat jika Husayni masih satu keturunan dengan bangsa Romawi, nenek moyang ras Aryan.

Sebab itu Adolf Hitler sangat menghormati Husayni. Apalagi kepentingan politik keduanya dalam hal permasalahan Yahudi dunia sama. Husayni memusuhi Yahudi karena ingin mempertahankan tanah suci Palestina, sedangkan Hitler memusuhi Yahudi karena dendam sejarah dan juga pandangan politik rasialnya. Keduanya pun bersekutu.

Dalam perang hal tersebut sangat dimungkinkan. Kepentingan bersama bisa menyatukan dua kelompok yang sepertinya tidak mungkin disatukan. Mungkin lebih kurang sama seperti fakta politik di negeri ini sekarang, dimana kelompok Islam Liberal dan NeoLib (plus kelompok kuffar palangis) ternyata bisa didukung “kelompok Islam literal berjenggot”. Semua itu bisa dimungkinkan karena kesamaan kepentingan yang bernama: Kekuasaan. Kita tahu jika yang namanya “Kekuasaan” sekarang ini memiliki arti sebagai “Boleh merampok uang umat sebanyak mungkin dengan resmi dan legal”. Itu saja.



Operasi pemberantasan ‘Partisan Yugoslavia’: Partisan Yugoslavia berada di bawah komando Jozep Broz Tito semakin sengit melakukan perlawanan terhadap kekuatan Jerman di wilayah Balkan. Meskipun awalnya ia tidak begitu di kenal oleh kalangan sekutu, namun berkat keberhasilannya menaklukan tentara Axis, terutama dalam kantung-kantung yang dikuasai oleh tentara Italia. Maka namanya semakin dikenal, ia bahkan mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Inggris di awal tahun 1943 dan menolak secara tegas untuk terlibat di dalam Komunis Internasional, meskipun pergerakannya bersifat sosialis. Divisi Handscar terlibat dalam beberapa operasi dalam pemberatasan partisan ini bersama dengan beberapa divisi SS lain.

Operasi Wegweiser: Bertujuan untuk membasmi partisan yang menyerang wilayah Syrmia antara kota Zagreb dan Belgrade. Dalam operasi ini, Handscar menderita korban cukup banyak dengan 573 orang tewas serta 82 tertangkap.

Operasi Sava: dimulai pada 15 Maret 1944, operasi ini bertujuan untuk membebaskan wilayah sekitar sungai Sava. Operasi ini juga disebut Operasi Liberasi Bosnia, yang berusaha membebaskan wilayah ini dari pendudukan tentara partisan yang waktu itu semakin kuat. Kekuatan partisan berhasil dipukul mundur setelah mereka kehabisan amunisi dan menderita kerugian korban jiwa yang cukup besar.

Operasi ke Ostfront: operasi ini digunakan untuk membantu pasukan Jerman yang mulai kewalahan melawan offensive pasukan Soviet yang mulai merangsek masuk ke dalam wilayah eropa timur. Dalam berbagai macam serangan yang dibangun, divisi ini mulai melakukan desersi karena korban yang cukup banyak dan semakin merangkseknya pasukan Soviet ke wilayah Yugoslavia sendiri. Divisi ini akhirnya dibubarkan menjelang jatuhnya Jerman.






Sumber :

  • www.eramuslim.com
  • www.forum.axishistory.com
  • www.muslim-x.livejournal.com
  • www.upload.wikimedia.org
  • www.waffen-ss-combattants.fr
  • www.ausairpower.net
  • alifrafikkhan.blogspot.com/
  • aninditablog.wordpress.com/2012/07/16/640/
.

Minggu, 01 Desember 2013

Pasukan Londo Ireng



Serdadu Afrika diandalkan dalam Perang Padri hingga Perang Aceh.

Sekitar tahun 1910, Oerip Soemohardjo, kelak menjadi kepala staf pertama Tentara Keamanan Rakyat pada 1945 –menjadi Tentara Nasional Indonesia pada 1947 – mendapat cemoohan dari para pemuda Afrika yang tinggal di Purworejo, kalau bahasa Belanda Oerip jelek. Sementara para pemuda Afrika hampir semuanya bicara bahasa Belanda dengan benar dan tanpa aksen.

Tak terima, Oerip yang berusia 17 tahun memanggil pasukan ciliknya dari Sindurejan (permukiman pribumi di Purworejo) untuk menyerang para pemuda Afrika saat senja sembari berteriak: “Londo ireng toenteng, iroenge mentol, soearane bindeng!” (Belanda hitam keling, hidungnya besar, suaranya bindeng). Beberapa kali ayah Oerip dipanggil kepala desa. Dia berjanji akan memarahi anaknya dengan syarat para pemuda Afrika tak lagi mengejek cara bicara anaknya.

Para veteran Afrika yang selesai bertugas, awalnya tinggal di sejumlah kampung bersama orang-orang Jawa. Ketika jumlahnya bertambah, residen daerah memutuskan membentuk kawasan tersendiri bagi mereka, demi menghindari “perselisihan dengan penduduk pribumi”. Selain itu, Belanda akan mudah mengawasi dan memanggil mereka ketika keadaan tidak tenang. Untuk membangun kampung Afrika, sesuai Keputusan Gubernemen tanggal 30 Agustus 1859 No. 25, Gubernemen Belanda membeli sebidang tanah di Desa Pangenjurutengah. Setiap penghuni memperoleh sebidang tanah sekitar 1.150 m2 untuk rumah atau lahan garapan.

Pada 20 Juni 1939, Letnan Doris Land, seorang pensiunan Afrika, menorehkan tandatangannya di bawah baris terakhir naskah berjudul Het ontstaan van de Afrikaansch kampong te Poerworedjo (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Kelak, dia mencoret beberapa huruf di akhir kata “kampung” sehingga membentuk kata “kamp”, karena “kampung” mungkin dianggapnya “kampungan”.

Dokumen empat halaman itu merupakan satu-satunya peninggalan seorang Indo-Afrika. Isinya memuat sejarah serdadu Afrika dan keturunannya. Menariknya, semasa hidupnya Doris tak membagikan sejarah dengan siapa pun, termasuk kepada tujuh anaknya. Baru setelah dia meninggal dunia pada 1986, dokumen itu ditemukan dalam koper tua yang hampir dibuang ke tempat sampah. Terkuaklah petualangan serdadu Afrika di Hindia Belanda.

Selain dokumen tersebut, sejarawan, wartawan, dan peneliti senior di Africa Studies Centre Leiden Belanda, Ineke van Kessel, mendapat limpahan setumpuk berkas penelitian tentang serdadu Afrika di Jawa dari sejarawan Universitas Amsterdam Dr Silvia de Groot. Van Kessel juga melakukan wawancara dengan keturunan-keturunan serdadu Afrika di Jawa yang biasa reunian setiap dua tahun sekali di Belanda. Pada 2005, van Kessel menerbitkan bukunya: Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Serdadu Afrika di Hindia Belanda).

Penggunaan serdadu Afrika sudah dilakukan dalam rentang waktu lama, dan bukan hanya di Hindia Belanda. Seperti disebutkan Van Kessel, di Kerajaan Romawi terdapat seorang serdadu yang dijuluki St. Mauricius, pemimpin legiun Theban. Sejak abad ke-9, dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara dan Spanyol menggunakan serdadu Afrika, seperti Dinasti Alawi di Maroko –bahkan Sultan Alawai kedua Mulay Ismail adalah putra dari seorang gundik berkulit hitam.

Portugis menempatkan serdadu Afrika dari Mozambik dan Ethiopia di Timor Timur dan Sri Lanka. Pada 1640, sekitar seratus pemanah berkulit hitam bertempur bersama Portugis melawan Belanda. Pada tahun yang sama Gubernur Belanda di Sri Lanka Rijkloff van Goens membutuhkan 4.000 orang kulit hitam untuk bekerja kepada VOC, bahkan VOC mendatangkan para budak hitam baru dari Madagaskar dan bagian selatan Afrika.

Pada 1875, Prancis membentuk Serdadu Senegal Bersenjata (De Tiraileurs Sénégalais), dan Inggris membetuk Gold Coast Corps pada 1851 dan West India Regiments, yang ditempatkan di Hindia Barat dan Afrika Barat. Pada dua Perang Dunia, ratusan ribu serdadu Afrika bertempur dengan tentara Prancis dan Inggris. Prancis juga mengerahkan pasukan Afrika di Indocina dan dalam perang kemerdekaan Aljazair.


“Perang Jawa menuntut dilakukannya perekrutan intensif,” tulis Van Kessel.


Semula, konsul-konsul Belanda di Hamburg, Bremen, dan Frankfurt mengumpulkan ribuan relawan Jerman. Pada 1827, korps elite berkekuatan 3.000 orang berangkat dari Belanda ke Jawa. Mereka harus menyelesaikan perang yang berlarut-larut. Setelah dua tahun berperang, yang tersisa kurang dari 1.000 orang. Tak mengherankan jika saran menggunakan orang Afrika mendapat tanggapan simpatik di Den Haag. Serdadu Afrika dianggap tahan banting dan tahan penyakit di iklim tropis, juga cenderung lambat berbaur dengan penduduk sehingga menjadikan kesatuan tentara sebagai pengganti keluarga.


Usulan datang dari kalangan swasta: seorang mayor Inggris, seorang bangsawan Jerman, dan ketua Nederlansche Handelmaatschappij. Usul tersebut diterima Kementerian Urusan Perang dan Kementerian Daerah Jajahan. Pada 1831-1872, Belanda merekrut sekitar 3.085 laki-laki di Afrika Barat, sebagian besar berasal dari Elmina (sekarang Ghana) dan Burkina Faso.

Tapi para serdadu Afrika tak ikut dalam Perang Jawa. Mereka tiba di Jawa sekitar tahun 1831, setelah Perang Jawa usai. Pengalaman perang pertama diperoleh 44 serdadu Afrika untuk memadamkan pemberontakan di Distrik Lampung yang dipimpin oleh Raja Gepe. Di Padang, serdadu Afrika yang membentuk kompi ke-6 Batalyon Infanteri 1 menduduki Bonjol setelah perang selama lima tahun. Serdadu Afrika juga ikut dalam ekspedisi di Bali untuk menundukkan raja-raja Bali, berjaga di garis belakang dan dari serangan dengan senjata bayonet di Timor, serta ekspedisi ke Banjarmasin, sebelah tenggara Borneo (Kalimantan).

Pada 1859, kompi Afrika Batalyon Infanteri 2 ikut dalam ekspedisi ke Bone, Celebes (Sulawesi), menggantikan serdadu-serdadu Eropa yang dievakuasi karena kerap jatuh sakit. Hingga Juni 1859, meski diserang penyakit disentri, kolera, tifus, dan malaria, kompi Afrika hanya kehilangan empat orang. Di Aceh sebaliknya. Dua kompi serdadu Afrika yang dilibatkan dalam ekspedisi besar-besaran kedua ikut berkontribusi atas keberhasilan menundukkan Sultan Aceh tanpa perlawanan. Bahkan tak seorang pun serdadu Afrika mati di medan perang –hanya satu yang mati karena terluka saat diungsikan. Tapi, 78 serdadu atau sepertiga dari seluruh serdadu Afrika tewas karena kolera.

Pemilihan Purworejo (disebut Kedong Kebo) sebagai tempat menampung para veteran Afrika bukanlah kebetulan. Bagelan pernah menjadi pusat perlawanan Perang Jawa. Mendirikan sebuah koloni para veteran Afrika merupakan strategi Belanda untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi.

Usai Perang Jawa pada 1830 pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah tangsi besar di Purworejo. Di sana ditempatkan tiga kompi pasukan Afrika, yang ironisnya pada 1840 membuat panik pemerintah lantaran melakukan pemberontakan bersenjata. Beberapa kali serdadu Afrika melakukan pemberontakan karena masalah adaptasi, kesetaraan dengan serdadu Eropa, dan komunikasi di kalangan prajurit Afrika sendiri, yang terdiri dari berbagai suku dengan bahasa berbeda. Selain itu, para serdadu Afrika suka bersikap negatif: jorok, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak, padahal mereka prajurit yang tak kenal lelah dan berani.

Banyak keturunan para serdadu Afrika mengikuti jejak ayahnya. Generasi kedua dan ketiga Indo-Afrika terlibat dalam perang melawan Jepang. Mereka merasakan nasib buruk di dalam kamp tawanan dan proyek-proyek Jepang. Setelah Indonesia merdeka, beberapa serdadu Afrika menetap di Indonesia.

Tak mudah bagi mereka menjalin hubungan dengan penduduk pribumi. Mereka kerap merasa lebih tinggi statusnya ketimbang warga pribumi. Pintu gerbang kamp Afrika di Purworejo ditutup pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore. Orang Afrika hidup terasing dan hanya berkomunikasi dengan orang Indonesia saat merasa butuh. Keturunan-keturunan Afrika di Belanda membantah bahwa tak ada pagar dan gapura dalam kamp Afrika. Cerita mengenai pagar barangkali menjadi ungkapan simbolis jarak sosial dengan orang Indonesia saat berkomunikasi dengan orang Afrika.

Orang Indonesia memiliki rasa segan terhadap “Belanda Hitam”. Di sisi lain, mereka juga merendahkan. Rambut orang Afrika yang kriwil diejek “rambut setan”. Karena penghuninya berkulit hitam, kamp Afrika kerap disebut “gudang arang.”

Karena inilah mungkin sebagian besar serdadu Afrika memilih kembali ke Belanda. “Saya orang Belanda, saya tak mau menjadi orang Indonesia,” kata mereka. Sayangnya, orang Belanda –juga orang Indonesia– tak mau mengakuinya. Mereka pun harus puas dengan sebutan Belanda Hitam. [HENDRI F. ISNAENI]





Sumber: http://www.majalah-historia.com
.